27.3.14

For The Love of Coffee

Kalau ditanya mulai kapan suka minum kopi, mungkin dari kecil. Papa kebetulan penggemar kopi, muai dari kopi hitam, kopi susu sampai kopi yang dicampur durian. Setiap pagi Mama selain menyiapkan sarapan, beliau tak lupa bikin kopi untuk Papa. Saya biasanya iseng mencicip satu dua seruput secara diam-diam, ups, jangan ditiru. Kalau ditanya kapan saya mulai punya ketertarikan sendiri dengan kopi non-instan & coffee shop, mungkin sejak 2004/2005. Tahun 2004/2005 saya mulai hijrah ke Yogyakarta untuk menempuh bangku kuliah. Saat itu istilah cafe/coffeeshop masih baru, maklum di Jambi (kampung halaman saya) pada saat itu hanya ada kedai kopi tradisional sekaligus tempat sarapan.

Suatu hari sepulang latihan paduan suara, saya menyusuri jalan kaliurang dan mengagumi satu tongkrongan yang dari luar tampak mewah, tempat itu bernama Coffee Break (sekarang sudah tutup). Saya iseng mampir masuk, memesan satu menu minuman, buka laptop dan langsung menulis beberapa postingan blog memanfaatkan fasilitas wifi gratis, mumpung gratis. Saya jatuh cinta seketika dengan suasana dan yang pasti dengan kopi. Namun sayang, dulu harus berfikir 2-3 kali jika hendak kesini, maklum harga minuman agak kurang sesuai dengan kantong mahasiswa.

Tahun 2006 saya berkesempatan untuk jadi sutradara & penulis skenario sebuah film pendek, produk tahunan dari club film yang saya ikuti. Film pendek itu bertema & berjudul Kopi. Singkat cerita hampir 90% proses shooting dilakukan di sebuah cafe di Jalan Solo. Entah kebetulan atau memang jodoh, proses disini gratis. Selain itu owner cafe ini sangat baik dan semua crew dapat suguhan racikan kopi gratis. Saya pribadi sempat mengobrol dengan owner tentang kopi dan espresso machine. Saya makin jatuh cinta dengan kopi.

Tahun-tahun terakhir kuliah, kopi baik instan maupun berupa bubuk kopi jadi teman baik dalam menyelesaikan skripsi. Ada satu paragraf kata pengantar yg secara khusus saya tuliskan ucapan terima kasih, atas jasa kopi.

Tahun 2009 saya hijrah ke Jakarta untuk kerja. Rasa ketertarikan saya dengan kopi ternyata menemukan ‘rumahnya’. Jakarta punya banyak coffee shop, baik yang merupakan produk waralaba seperti Starbucks, maupun yang independent. Kadang saya memilih untuk menghabiskan weekend dengan duduk santai di coffee shop. Kadang coffee shop juga dijadikan meeting point untuk urusan pekerjaan atau urusan lain. Mulai terbiasa dengan minum kopi, namun saya jenuh dengan ritual minum kopi. Saya ingin lebih jauh tau tentang kopi. Berbagai artikel tentang kopi didapatkan dari majalah, blog dan website (terutama cikopi.com) makin menusik keingin-tahuan tentang kopi. Hal ini berlanjut dengan kalau sedang dalam perjalanan dinas, saya sempatkan untuk mampir ke kedai kopi setempat.

Tahun 2013 tepatnya bulan Oktober, karena jenuh dengan rutinitas di kantor, saya menghabiskan cuti 3 hari untuk melakukan eksplorasi coffee shop di Singapura, seperti postingan sebelum ini. Rasa seru ketika bisa menemukan perbedaan & banyak hal baru dari biji kopi, suasana coffee shop, 1001 teknik pengolahan biji kopi, membuat saya lagi lagi makin jatuh cinta dan pastinya penasaran dengan ‘kopi’.

Kurang puas dengan jadi kutu loncat dan icip-icip resep kopi dari satu tempat ke tempat lain, saya punya keinginan untuk belajar tentang kopi. Saya tertarik membeli buku The Blue Bottle Craft of Coffee: Growing, Roasting and Drinking with Recipes  yang ditulis oleh James Freeman & Caitlin Freeman, dua orang dibalik kesuksesan Blue Bottle Coffee Company. Dari buku ini, kesimpulan yang didapat : saya harus terjun praktek atau istilah gampangnya, cari kursus untuk (minimal tahu sedikit) menjadi barista, barista course. Di Indonesia atau Jakarta secara khusus belum begitu banyak tempat yang memfasilitasi hal ini. Sejauh hasil googling, saya menemukan 3 tempat yang rutin mengadakan kelas setiap bulan. Dari 3 tempat ini saya akhirnya memilih Esperto Barista Course. Cuti 3 hari sudah di tangan, tiket pesawat Jambi-Jakarta PP sudah tersimpan di handphone, hotel sudah dipesan via agoda. Saya siap ikut basic short course selama 3 hari, 20-22 Februari 2014 di Jakarta.

Saya tiba 30 menit lebih awal di Wisma Geha tempat kursus diadakan, baru ada sekitar 3 orang yang duduk di meja depan sambil mengisi formulir. Jam 10.30 semua peserta berjumlah total 12 orang berkumpul dan langsung menuju ruangan. Kelas dimulai dengan perkenalan standar antara peserta & pengajar. Awalnya saya pikir peserta paling jauh adalah saya, dari Jambi, ternyata ada juga yang berasal bukan dari Jakarta. Ada pengusaha cafe dari Kendari, pelaut yang sedang off duty dari Kendari, pengusaha biji kopi dari Jember, pemilik cafe pinggir jalan dengan harga bersahabat dari Jember dan eks pegawai perusahaan minyak yang  memilih untuk jadi barista di Bogor. Peserta dari Jakarta pun datang dari profesi yang beragam: dokter gigi, banker, arsitek, calon pemilik coffee shop bahkan mahasiswa. Bisa dibayangkan orang dari berbagai daerah & profesi berkumpul di satu ruangan, memenuhi keingintahuan tentang kopi, bisa dibayangkan gimana efek heran sekaligus takjub yang timbul? Oke saya mulai berlebihan.



Total pengajar inti berjumlah 2 orang, pak Franky & Rio. Selain itu ada pak Michael yg secara diam-diam suka mengambil foto selama kelas berlangsung. 4 asisten yang membantu selama praktek, salah satunya eks barista Monolog dan ada satu mahasiswa asing yang kebetulan sedang ada di Jakarta dan punya background sebagai barista di negaranya. Mereka semua sangat ramah dan membantu selama kelas berlangsung, tidak ada bayangan guru killer dan dinding pembatas seperti yang sudah akrab dalam proses belajar  pada umumnya. Semua pengajar & asisten bahkan tidak segan untuk berbagi ilmu serta tips khusus versi mereka.

Hari pertama berisi materi tentang proses pengolahan dari buah kopi sampai menjadi bji kopi siap pakai, sekilas tentang mesin espresso dan grinder. Setelah makan siang dilanjutkan dengan praktek yang meliputi: pengenalan langsung mesin espresso, menggiling biji kopi dan bagaimana menghasilkan espresso yang sesuai standar. Sekilas proses grinding dan espresso ini gampang, tapi ternyata susah sekali. Ada perbandingan antara waktu dan jumlah espresso yang harus diikuti, salah pada satu proses berkaitan dengan proses yang lainnya. Praktek hari pertama ini cukup membuat saya panik dan keringat dingin.

Hari kedua berisi materi dan praktek tentang membersihkan grinder dan mesin espresso. Setelah makan siang dilanjutkan dengan praktek steam susu (milk frothing). Lagi-lagi saya terkecoh dan mungkin menganggap proses ini gampang. Ada saatnya pak Rio sedikit mengkhususkan waktunya ke saya karena saya menemui banyak kesulitas. Ada pula saatnya ketika susu yang saya steam seperti meledak, tumpah berceceran di lantai. Tapi setelah  beberapa kali dilatih akhirnya bisa juga, walaupun pada saat saya baru bisa, peserta yang lain sudah lumayan mahir. Saya yang lumayan kompetitif jadi agak berkecil hati, padahal nggak perlu ya hehe.

Hari ketiga atau hari terakhir kami diajarkan untuk menggabungkan praktek menggiling kopi, membuat espresso, steam susu dan membuat dua resep dasar, Latte dan Cappuccino. Selain itu diajarkan langsung secara sekilas tentang latte art. Akhir sesi diadakan tes tertulis dan praktek membuat satu gelas latte & cappuccino sebagai evaluasi sejauh mana peserta menangkap proses belajar 3 hari terakhir. Bagaimana dengan latte & cappuccino buatan saya? Sempat panik karena sempat harus 3 kali merubah setting grinder karena bubuk kopi yang terlalu halus atau terlalu kasar. Sempat panik kalau susu yang saya steam bertekstur buruk dan yang terburuk, tumpah. Tapi alhamdulillah semua berjalan lancar dan saya sempat terkejut karena latte art buatan saya membentuk shape hati yang lumayan baik.



Saya bersyukur karena berani nekat jauh-jauh datang ke Jakarta ikut kursus ini, mengingat biaya kursus yang tidak sedikit, tapi semua terbayar dengan ilmu yang saya dapat. Worth it terlebih satu peserta langsung pegang satu mesin espresso. Bahan yang dipakai, baik biji kopi maupun susu, semuanya berkualitas baik. Belum lagi kami juga diajarkan beberapa metode manual membuat kopi. Selain itu, kami penggila kopi merasa tidak sendirian karena dapat banyak keluarga baru yang bahkan lebih gila dari saya. Menyenangkan.



Itulah sedikit pengalaman saya mengikuti short course ini dan kecintaan saya akan kopi yang bertambah setelah kursus berakhir. Bukan bermaksud promosi terselubung, tapi ini memang bentuk kepuasan saya akan hal yang didapat dari sini, mungkin calon Espertan lain yang ingin tahu lebih banyak tentang kopi bisa langsung main-main ke website mereka disini.


Have a good day and don’t forget to get a cup of coffee to keep you calm.

13.1.14

Book Review : The Freaky Teppy - Cerita Hidup Penuh Tawa Walau Luka Luka

currently listening : Vampire Weekend - Step.

Halo, sebelumnya saya mau mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014, iya memang telat. Btw postingan pertama tahun ini akan berupa review buku, yang sepertinya juga merupakan kali pertama saya posting dengan tema ini. Buku yang akan saya 'obrak-abrik' kali ini adalah buku neng Teppy. Iya, teman saya satu ini akhirnya jadi penulis beneran, setelah sejak 2007 dia cuma nulis sebatas blog. Buku ini saya review bukan karena Teppy teman saya, tapi ya karena buku dia menarik banget dan sangat 'gue-banget'.



Sekitar 2 bulan lalu saya baru kelar baca The Perfect Gentleman (Imran Ahmad), kurang lebih tentang proses adaptasi & perjuangan bocah pakistan (muslim) yang besar di Inggris. Sebenarnya apa yg Imran rasakan mostly pahit, tapi dia bisa menceritakan hal-hal pahit ini dengan lucu sampai akhirnya berbuah manis. Hal ini juga yang saya temukan di buku The Freaky Teppy.

Buku ini bergenre komedi. Komedi yang sebetulnya penuh luka, sesuai dengan tagline. Teppy dengan pandai bercerita tentang masa-masa 'seru' hidup di perkampungan betawi, pertama kali putus cinta berakhir dengan rekonstruksi adega AADC (namun dengan gayung), persahabatan dengan teman SMA, persahabatan dengan teman kuliah, tugas kuliah yg berujung dengan nyanyian lagu rihanna (eh rohani), jatuh bangun magang & first job, lalu berakhir dengan cerita liburan yang kayaknya lebih seru dibandingkan dengan naik halilintar di dufan.

Kalau jeli (halah), sebenarnya buku ini punya alur yang rapi, dari jaman SMA - Kuliah - Kerja. Kalau jeli (lagi), apa yg bisa bikin saya ketawa sambil kemudian merenung adalah cerita-cerita ini sangat familiar dengan apa yg dirasakan banyak orang. Terutama dari kami (dan mereka) yang datang dari keluarga yang mungkin diberi kecukupan, jadi kalau mau merasakan hal-hal lebih harus kerja keras dulu sampai encok, eh nggak sampai encok juga sih. Lalu The Freaky Teppy juga semacam jadi proses 'buat apa malu dengan masa lalu' yg toh nggak merugikan orang lain. Terus mungkin bukti juga kalau orang bilang 'ih anak sekarang sih pada gak mau susah', anak sekarang yg mana? gue & teppy (dan banyak di luar sana) masih banyak kok yg menghargai proses. Halah

Terakhir. Menurut saya buku ini wajib dibaca oleh adik-adik SMA yang akan menuju kuliah, atau anak kuliah yang menuju dunia kerja (yg kejam), atau yg udah mapan tapi pingin flashback ke masa lalu, ya intinya semua harus baca. Jangan tertipu dengan covernya yg terlalu ABG (puntenun neng), isi di dalamnya justru berisi banyak pelajaran tanpa bahasa yg menggurui. Kalau setelah baca buku ini bikin saya ketawa (pedih) dan kamu pun demikian, artinya : YA BOOOKKK KITA SENASIP. :) 

Selamat ya neng Teppy, ditunggu buku selanjutnya yg lebih tebal dan yang pasti penuh dengan cerita-cerita seru lainnya. 

You don't stop laughing because you grow old, you grow old because you stop laughing (at yourself) - Michael Pritchard



The Freaky Teppy (7.5/10)